Selain membahas tentang etika kepemimpinan, berbagai khazanah kearifan lokal Bugis seperti Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo
dan Elong, juga memuat tentang karakter kepemimpinan politik manusia
Bugis. Pertama, penegakan hukum. Sebuah petuah berharga tanah Bugis
berbunyi, ”ade’ temmakkiana’ temmakieppo” yang berarti bahwa
”adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu”.
Prinsip ini dapat
ditemukan aplikasinya sebagaimana dicontohkan oleh Raja Bone Ke-16 La Patau
Matanna Tikka ketika menghukum putranya La Temmasonge pada tahun 1710
dengan hukuman ”ri paoppangi tana” (di usir dari Bone dan dibuang ke
Buton) karena membunuh Arung Tibojong. Begitupula Arung Matoa Wajo X
La Pakoko Topabbele’ menghukum mati anaknya sendiri La Pabbele’ karena
memperkosa seorang perempuan di kampung To Tinco.
Karakter kepemimpinan kedua, adalah demokratis atau dalam khasanah Bugis disebut kemerdekaan. Dalam Lontara Sukku’na Wajo terdapat sebuah petuah yang berbunyi, ”Naiyya ri asengge maradeka, tellumi pannessai: seuani, tenri lawa’i ri olona. Maduanna, tenri angka’i ri ada-adanna. Matellunna, ternri atteangngi lao maniang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao manorang”.
Petuah ini berarti bahwa “yang dinamakan merdeka, ada tiga hal yang menentukan: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga, tidak dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur, ke atas, ke bawah”. Benar-benar sebuah jaminan akan kebebasan masyarakat.
0 Response to "Karakter Politik Suku Bugis "
Post a Comment