Seperti halnya Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh sejumlah suku bangsa adalah berbeda-beda, namun dasar dan sifatnya adalah satu, yakni sifat keindonesiaannya. Sehingga adat bangsa Indonesia sering dikatakan merupakan “Bhinneka” yakni, meskipun berbeda-beda adat suku bangsanya dan “Tunggal Ika” yakni, tetap satu jua adalah dasar dan sifat keindonesiaannya.
Adat
istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan
sumber yang mengagumkan bagi hukum adat bangsa Indonesia yang merupakan
cikal bakal ideologi atau norma bangsa yang dikenal dengan nama
“Pancasila” yang terdiri dari 5 (lima) butir yaitu :
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerkyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.Kedilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Demikian pula suku bangsa Bugis yang mendiami pulau Sulawesi bagian Selatan juga mempunyai norma yang disebut “PANCANORMA” yakni terdapat 5 (lima) butir norma yang menjadi salah satu unsur pembeda dari sejumlah suku bangsa yang ada di Negara Republik Indonesia tercinta.
Konsep Pancanorma (Pangngadereng) ini lahir sejak abad ke-16 yaitu pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 (1543-1568). Pada masa itu terdapat seorang cendekiawan bugis yang bernama Lamellong. Karena atas kemampuan berpikir yang dimilikinya sehingga Raja memberi gelar “Kajao” yaitu orang cerdik/cendekia. Kajaolalliddong” yaitu cendekiawan atau orang cerdik pandai dari sebuah kampung yang bernama Lalliddong di wilayah kerajaan Bone. Sang Kajaolah yang melahirkan “Konsep Pangngadereng” yang hingga kini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Bugis.
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerkyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.Kedilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Demikian pula suku bangsa Bugis yang mendiami pulau Sulawesi bagian Selatan juga mempunyai norma yang disebut “PANCANORMA” yakni terdapat 5 (lima) butir norma yang menjadi salah satu unsur pembeda dari sejumlah suku bangsa yang ada di Negara Republik Indonesia tercinta.
Konsep Pancanorma (Pangngadereng) ini lahir sejak abad ke-16 yaitu pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 (1543-1568). Pada masa itu terdapat seorang cendekiawan bugis yang bernama Lamellong. Karena atas kemampuan berpikir yang dimilikinya sehingga Raja memberi gelar “Kajao” yaitu orang cerdik/cendekia. Kajaolalliddong” yaitu cendekiawan atau orang cerdik pandai dari sebuah kampung yang bernama Lalliddong di wilayah kerajaan Bone. Sang Kajaolah yang melahirkan “Konsep Pangngadereng” yang hingga kini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Bugis.
Pokok-pokok pikiran beliau
menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. Dalam
lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa
Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng,
dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam
hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama
“Lamumpatue” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe
BongkangngE raja Bone ke-7 (1568-1584).
Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :
Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :
- Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
- Tidak memejamkan mata siang dan malam;
- Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
- Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Implementasi pokok-pokok pikiran sebagai unsur perekat dalam menjalankan aktivitas pemerintahan di atas adalah :
- Siattinglima, yakni bergandengan tangan
- Sitonraola, yakni kesepakatan melalui musyawarah
- Tessipano, yakni tidak saling menjatuhkan
- Tessibelleang, yakni tidak saling menghianati
Selanjutnya,
dikalangan seorang raja Bugis dalam menjalankan roda pemerintahan harus
memiliki 11 (sebelas) kriteria, antara lain raja harus bersifat :
- LINO (BUMI) : Mempunyai watak BUMI, yaitu seorang pemimpin hendaknya mampu melihat jauh ke depan, berwatak murah hati, suka beramal, dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya
- LANGI (LANGIT) : Mempunyai watak LANGIT, yaitu langit mempunyai keluasan yang tak terbatas hingga mampu menampung apa saja yg datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan pengendalikan diri yang kuat, sehingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam
- WETTUING (BINTANG) : Mempunyai watak BINTANG, yaitu bintang senantiasa mempunyai tempat yang tetap di langit sehingga dapat menjadi pedoman arah (Kompas). Seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan rakyat kebanyakan tidak ragu menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.
- MATAESSO (MATAHARI) :Mempunyai watak MATAHARI, yaitu matahari adalah sumber dari segala kehidupan, yang membuat semua mahluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu mendorong dan menumbuhkan daya hidup rakyatnya utk membangun negara dengan memberikan bekal lahir dan batin untuk dapat berkarya dan memamfaatkan cipta, rasa, dan karsanya.
- KETENG (BULAN) : Mempunyai watak BULAN, yaitu keberadaan bulan senantiasa menerangi kegelapan malam dan menumbuhkan harapan sejuk yang indah mempesona. Seorang pemimpin hendaknya sanggup dan dapat memberikan dorongan dan mampu membangkitkan semangat rakyatnya, ketika rakyat sedang menderita kesulitan. Ketika rakyatnya sedang susah maka pemimpin harus berada di depan dan ketika rakyatnya senang pemimpin berada di belakang.
- ANGING (ANGIN) : Mempunyai watak ANGIN, yaitu angin selalu berada disegala tempat tanpa membedakan daratan tinggi dan daratan rendah ataupun ngarai. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyatnya, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, hingga secara langsung mengetahui keadaan & keinginan rakyatnya.
- WARA API (API) : Mempunyai watak API, yaitu api mempunyai kemampuan untuk membakar habis dan menghancurleburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan hukum dan kebenaran secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.
- TANA (TANAH) : Mempunyai watak TANAH, yaitu tanah merupakan dasar berpijak dan rela dirinya ditumbuhi. Seorang pemimpin harus menjadikan dirinya penyubur kehidupan rakyatnya dan tidak tidur memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
- RAUKKAJU (TUMBUHAN) : Mempunyai watak TUMBUHAN, yaitu tumbuhan/tanaman memberikan hasil yang bermamfaat dan rela dirinya dipetik baik daun,dan buahnya maupun bunganya demi kepentingan mahluk lainnya.
- TASI’ (LAUT LUAS) : Mempunyai watak SAMUDRA, yaitu laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yg rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua rakyatnya pada derajat dan martabat yang sama di hatinya. Dengan demikian ia dapat berlaku adil, bijaksana dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.
- SAO/BOLA (RUMAH) : Mempunyai watak RUMAH, yaitu rumah senantiasa menyiapkan dirinya dijadikan sebagai tempat berteduh baik malam maupun malam. Seorang pemimpin harus memayungi dan melindungi seluruh rakyatnya.
Implementasi
kesebelas kriteria di atas, menurut ajaran Lamellong Kajao Lalliddong
mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut
“Inanna Warangparangnge” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan
antara lain :
- Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;
- Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;
- Raja harus jujur dalam segala tindakan.
Tiga
faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan,
merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan raja, sehingga
raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang
telah ditetapkan. Tentang pembatasan kekuasaan, dalam Lontara’
disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak
orang banyak. Perhatian raja harus sepenuhnya diarahkan kepada
kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Berdasarkan dari berbagai pokok-pokok pikiran Kajaolalliddong di atas maka kelima butir Pangngadereng (Pancanorma) yang dimaksud adalah :
Berdasarkan dari berbagai pokok-pokok pikiran Kajaolalliddong di atas maka kelima butir Pangngadereng (Pancanorma) yang dimaksud adalah :
- Ade
- Bicara
- Rapang
- Wari
- Sara
1. ADE’
Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
c. Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
2.BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
3.RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
4.WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
5.SARA
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)
Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Itulah kelima butir tatanan dalam konteks kesukuan bagi suku bangsa Bugis yang menjadi dasar dalam menjalankan roda pemerintahan Raja-Raja Bone sejak abad XVI pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) yang selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis.
Berdasarkan Konsep Pancanorma di atas maka dikalangan suku bangsa Bugis lahirlah istilah “Paseng dan Pangaja”. Paseng (Petuah) adalah sesuatu pesan yang berlaku pada masa dulu, kini, dan akan datang. Sedang Pangaja (Nasihat) adalah suatu pesan yang lahir setelah seseorang melakukan perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma yang berlaku. Paseng atau petuah yang dimaksud adalah :
1) Lempu / Kejujuran : Pahit dan getir
2) Getteng / Prinsip
3) Sipakatau / Manusiawi
4) Mappesona ri Dewatae / Bersandar kepada Allah
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 telah menjadi ruh dalam kehidupan bangsa Indonesia juga menjadi perekat kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai falsafah NKRI merangkum seluruh kepribadian suku bangsa yang ada di Indonesia.
Pancanorma (Pangngadereng) lahir pada tahun 1543 sejak pemerintahan raja Bone VII Latenri Rawe’ BongkangngE merupakan simbol ruh yang merangkum kepribadian suku bangsa Bugis dimasa lalu. Akankah ruh-ruh luhur itu akan kembali menghias Bumi Pertiwi? Karena sekarang ini ruh-ruh itu berada di pojok-pojok yang sepi?.
(Oleh : Mursalim )
Sumber : Teluk Bone
0 Response to "Konsep Pancanorma Ala Bugis"
Post a Comment