Mitos tentang Tomanurung merupakan unsur
yang menguatkan nilai kebudayaan Bugis. Ia diyakini sebagai
cerita-cerita yang mengandung peristiwa – peristwa dan makna-makna yang
aktual. Mitos Galigo tertulis di dalam Sure’ Galigo. Bermacam-macam
penilaian dalam surat ini. Adapun tokoh sentral di dalamnya adalah
Sawerigading yang berkeinginan mempersunting adik kandung perempuannya,
tetapi karena dicegah, akhirnya berhasil memindahkan perasaan
cinta-asmaranya kepada seorang gadis Cina yang bernama We Cudai.
Sebelum Sure’ Galigo dibacakan, ada
beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan, seperti; Orang menabuh
gendang dengan irama tertentu, dan membakar kemenyan. Setelah
gendang berhenti, Sang Bissu dengan bahasa tolanginya mengucapkan pujaan
dan meminta ampun kepada dewa-dewa yang akan disebut-sebut namanya
dalam pembacaan syair itu. Isinya melukiskan antara lain tentang awal
mula ditempatinya tanah Luwu yang dipandang sebagai negeri Bugis tertua.
Pada peristiwa Tomanurung di Luwu tampak
dengan jelas masalah kekeluargaan dan kekerabatan yang tampil lebih
banyak dipersoalkan, sesudah pengisisan alekawa (dunia) ini.
Simpuru’siang masih tetap berada dalam hubungan suasana Botilangi(dunia
atas) dan Buri’liung (dunia bawah). Ana’kaji masih mengulang
pengalaman Sawerigading ketika ditinggalkan oleh isterinya.
Corak perkawinan sepupu tetap
dipelihara, juga adalah warisan dari zaman Galigo. Kesulitan-kesulitan
yang dihadapi sudah tersedia tempat memulangkannya secara langsung,
termasuk keluarga mereka sendiri. Mereka namakan Datu Palanro (Sang
Pencipta), Ajipatoto (Sang Pengatur), Lapuange (Yang Dipertuan). Mereka
memperkenalkan bahwa sumange’ berarti ruh atau kehidupan; marapettang
(dunia gelap), padangria (dunia sana), bannapati (dunia yang kekal),
riniyo (hati nurani yang suci murni). Kemudian ritus-ritus yaitu suatu
tindakan, biasanya dalam bidang keagamaan, yang bersifat seremonial dan
tertata bersama dengan benda-benda yang dipandang sakral, seperti dupa,
minyak, benang, curiga, ana’beccing, laelae,sujikama, patangngareng dan
dapo’balibonga.
Rupanya mitos berkaitan erat dengan
berbagai penampilan ritualistik atau seremonial. Mitos Luwu,
kelihatannya lebih bercorak keper cayaan, sehingga dinamakan mitos
kepercayaan. Adapun corak mitos manurung di Bone dan Gowa, menurut
keadaan masyarakat yang mendahuluinya adalah “ sianre baleni tauwwe
(bahasa Bugis)” atau sikanre juku’mi tauwwa (bahasa Makassar).
Sianre baleni tauwwe, suatu keadaan yang
diumpamakan kehidupan ikan, ikan besar melahap ikan kecil, tetapi
bilamana ikan besar daam keadaan mati, maka ikan kecilpun sama
berkerumun mengambil kesempatan untuk memakannya. Seluruh kehidupan
masyarakat dalam keadaan krisis. Di mana manusia dalam keadaan
kehidupan kososng dari pada kompetensi dan stabilitas .
Semasa munculnya Tomanurung di Gowa,
para Gallarang yang sembilan, masih tetap berkuasa dan memerintah negeri
mereka masing-masing. Mereka menjadi anggota Dewan Kerajaan, mereka
berfungsi sebagai Kasuwiang (abdi), dan secara bersama-sama mereka
disebut Kasuwiang Salapang (para Abdi yang Sembilan) masing-masing
memiliki identitasnya berupa panji-panji yang disebut bate, dan secara
bersama-sama pula mereka disebut bate salapang (semblan pemegang panji)
tidak mengherankan kalau semangat lama masih tetap hidup dalam struktur
pemerintahan baru di bawah karaeng Bayo bersama Tomanurung. Adapun
corak pemerintahan di Bone berbeda dengan yang lainnya.
Setelah munculnya Matasi lompoe,
Manurungnge Rimatajang, para matoa yang tujuh disatukan dipusat
pemerintahan yang disebut Kawerang, ibu kota kerajaan Bone pada masa
itu. Para Matoa itu kemudian menjadi Ade’pitu (tujuh Pemangku adat) di
bawah pimpinan Matasilompoe sebagai mangkau’ (yang berdaulat).
Hubungan pemerintah kerajaan Bone dengan ade’ pitu (tujuh pemangku adat)
sebagai hubungan persahabatan dan kekerabatan harus selalu
terpelihara.
Dengan demikian kekauasaan raja Bone
sangat kuat sampai keseluruh bagian wilayahnya. Walaupun tampak
kekerabatan begitu kuat di dalam pemerintahan, namun kewajiban yang
telah diamanatkan selalu harus dijalankan. Raja harus menjaga supaya
rakyat tetap utuh sehingga tidak seperti keadaan padi yang menjadi hampa
karena isinya dimakan burung.
Raja harus melindungi mereka dari setiap sesuatu yang mengancam kehidupan supaya raja sebagai selimut bagi mereka yang tertimpa dingin. Sejarah pemerintahan kerajaan Bone menjadi saksi, apabila raja melanggar amanat itu. Bukan saja seruannya tak disambut, malah rakyat menyerbunya dan dia dibunuh oleh neneknya sendiri karena membuat malu keluarganya sendiri. Baik Bone maupun Gowa lebih memperlihatkan politik dan pemerintahan yang ditimpa krisis. Mitos di kedua negeri ini lebih bercorak politik dan pemerintahan, sehingga dipandang sebagai mitos politik.
Krisis yang melanda Soppeng berbeda
dengan daerah lain, bukan krisis kepercayaan, bukan pula krisis politik.
Hujan yang tidak turun selama tujuh tahun yang menyebabkan sawah tidak
berair dan padi tidak dapat ditanam. Masyarakat dilanda kelaparan
yang berkepanjangan. Mereka bermusyawarah untuk mendapatkan jalan keluar
dari krisis kelaparan.
Arung Bila yang mengetahui bahwa yang sedang digegerkan oleh dua ekor burung Kakaktua adalah setangkai butir-butir padi, segera memeritahkan supaya burung-burung tersebut diikuti ke arah mana mereka terbang. Burung itulah yang menjadi petunjuk sehingga para matoa menemukan sebuah masyarakat yang makmur. Di Sakkanyili’ nama tempat yang makmur dan sejahtera itu bertakhta seorang raja. Para Matoa memandang yang demikian itu suatu keistimewaan pada diri raja itu, lalu mereka menyebutnya Petta Manurung di Sekknyili’ .
Krisis yang terjadi di Soppeng adalah
krisis ekonomi, sehingga mitos Tomanurung di sini disebut Mitos
Ekonomi. Selanjutnya krisis yang menimpa daerah Wajo kelihatan berjalan
bersama-sama antara krisis ekonomi dan krisis pemerintahan. Keadaan
sianrebale dialami juga oleh mereka seperti yang dialami di Bone dan
di Gowa. Keadaan itu ditandai ketika rakyat Sariameng telah
ditinggalkan oleh pemimpinnya yaitu Puang Rilampulungeng yang dipandang
sakti itu. Kemudian baru menikmati lagi kemakmuran setelah tampil Puang
Timpengeng di negeri Boli’ yang sejahtera itu.
Tetapi setelah Puang Timpengeng
meningal, maka masyarakat kembali lagi dilanda krisis ekonomi dan
pemerintahan. Keadaan berlanjut, baru berakhir setelah datangnnya La
Pukke’. Tokoh Wajo yang paling mengesankan dan utama adalah La
Taddampare’ Puang Rimaggalatung. Baru setelah empat kali rakyat
mendesaknya, beliau menerima jabatan Arung Matoa Wajo. Dan Wajo
mengutamakan ekonomi di samping politik pemerintahan, sehingga Wajo
memiliki keunikan diantara negeri-negeri Bugis lainnya.
Corak mitos yang berlangsung di Luwu,
Gowa, Bone, Soppeng, dan Wajo, dengan keunikannya masing-masing.
Petunjuk yang dijadikan dasar untuk menetapkan corak-corak tersebut
adalah kesulitan atau jenis krisis yang terjadi, yang mendahului
kehadiran pribadi Tomanurung yang didambakan, yang disertai kepercayaan
penuh.
Sehingga mitos Tomanurung merupakan
gelar yang melekat pada seseorang dan diberi kepercayaan yang dianggap
mampu memimpin dan memecahkan persoalan hidup masyarakat yang terjadi
pada masa itu. Mitos Tomanurung ini menambah deretan khazanah pau-pau
rikadong dan cerita sastra bugis. Seperti halnya jika ada orang yang
diberi kepercayaan memimpin daerah atau negeri masa sekarang, kalau
berhasil memberi makan dan melindungi rakyatnya maka ia disebut
Tomanurung seperti pada masa lalu.
Sumber : Teluk Bone
0 Response to "Konsep To Manurung"
Post a Comment